Minggu, 11 Agustus 2013

Info Gereja: Maria Diangkat ke Surga

Pesta St. Perawan Maria Diangkat Ke Surga



Pada hari ini, kita merayakan peristiwa iman: “Maria Diangkat Ke Surga”. Kita diajak Gereja untuk merenungkan perbuatan besar yang dikerjakan Allah bagi Maria, Bunda Kristus dan Bunda seluruh umat beriman. Kita percaya bahwa Maria telah dipilih Allah sejak awal mula untuk menjadi Bunda Putera-Nya, Yesus Kristus. Untuk itu Allah menghindarkannya dari noda dosa asal dan mengangkatnya jauh di atas para malaikat dan orang-orang kudus.

Gereja percaya bahwa Allah mengangkat Maria ke surga dengan jiwa dan badan, karena peranannya yang luar biasa dalam karya penyelamatan dan penebusan Kristus. Kebenaran iman ini dimaklumkan sebagai dogma dalam Konstitusi Apostolik Munificentissimus Deus oleh Paus Pius XII (1939 – 1958) pada tanggal 1 November 1950. Maklumat ini dapat dipandang sebagai ‘mahkota’ perkembangan devosi dan teologi seputar masalah ini.

Dogma ini sama sekali tidak menentukan apa-apa sehubungan dengan kematian Maria. Tidak diketahui secara pasti apakah Perawan terberkati ini meninggal; tetapi kalau toh terjadi, kematiannya tentu tidak disertai dengan ketakutan dan penderitaan sebagaimana biasanya dialami manusia, bahkan sebaliknya diliputi ketenteraman dan kegembiraan sebagai suatu perpindahan dari dunia ke dalam keabadian. Dogma ini pada hakikatnya bertumpu pada iman umat sejak dahulu kala, bukannya pada satu teks Alkitab tertentu.

Dalam Konstitusi Apostolik itu, paus menyatakan, “Kami memaklumkan, menyatakan dan menentukannya menjadi suatu dogma wahyu ilahi, bahwa Bunda Allah yang Tak Bernoda, Perawan Maria, setelah menyelesaikan hidupnya di dunia ini, diangkat dengan badan dan jiwa ke dalam kemuliaan surgawi.”

Di antara tahun 1849 – 1950, Vatikan dikirimi banyak sekali permohonan dari segala penjuru dunia agar kepercayaan akan Maria Diangkat ke Surga diumumkan secara resmi sebagai dogma. Pada tanggal 1 Mei 1946, Paus Pius XII (1939 – 1958) mengirim kepada para uskup sedunia ensiklik Deiparae Virginis; di dalamnya paus menanyakan para uskup sedunia sejauh manakah mereka setuju agar dogma itu benar-benar dimaklumkan. Jawaban para uskup hampir senada, yaitu positif.

Paus bertitik tolak dari persatuan mesra antara Maria dengan Yesus, Puteranya, khususnya semasa Yesus masih kecil. Persatuan itu diyakini sebagai tidak mungkin tidak diteruskan selama-lamanya; tak mungkin Maria yang melahirkan Yesus dapat terpisah dari Yesus secara fisik. Selaku Puteranya, Yesus tentu menghormati ibu-Nya, bukan hanya Bapa-Nya.

Tanda-tanda pertama ibadat kepada Santa Maria Diangkat ke Surga, ditemukan para ahli di kota Yerusalem dalam masa awal Gereja Kristen. Pesta Maria Diangkat ke Surga sudah popular sekali di kalangan Gereja Timur pada abad VIII.

Konsili Vatikan II bicara juga tentang Dogma Maria Diangkat ke Surga. Konsili mengatakan, “Akhirnya, sesudah menyelesaikan jalan kehidupannya yang fana, Perawan Tak Tercela, yang senantiasa kebal terhadap semua noda dosa asal, diangkat ke kejayaan surgawi dengan badan dan jiwanya.” (LG no. 59). Dalam Lumen Gentium no 68 tertulis, “Bunda Yesus telah dimuliakan di surga dengan badan dan jiwa, dan menjadi citra serta awal penyempurnaan Gereja di masa datang. Begitu pula dalam dunia ini – sampai tiba hari Tuhan (bdk. 2Ptr 3: 10) – ia bersinar gemilang sebagai tanda harapan yang pasti dan tanda hiburan bagi Umat Allah yang sedang berziarah.”

Yesus yang sungguh Allah dan sungguh manusia sekarang bertahkta di surga sebagai Raja yang kepada-Nya telah diserahkan segala kekuasaan di surga dan di dunia. Dan Maria, ibu-Nya yang menyertai Dia dengan setia dalam seluruh karya-Nya di tengah-tengah manusia kini bertahkta juga di surga sebagai Ratu Surgawi, yang mendoakan kita di hadapan Putera-Nya dan menolong kita dalam semua kedukaan kita. Di dalam Yesus dan Maria, keluhuran martabat manusia tampak dengan cemerlang. Kecemerlangan martabat manusia itu bukan terutama karena keagungan manusia di antara ciptaan lainnya melainkan terutama karena karya penebusan Yesus Kristus, Putera Maria dan persatuan mesra dengan-Nya.

Pengangkatan Maria ke surga dengan badan dan jiwa menunjukkan juga kepada kita betapa tingginya nilai tubuh manusia di hadapan Allah karena penebusan Kristus dan persatuan erat mesra dengan-Nya. Oleh penebusan dan persatuan itu, tubuh kita tidak sehina tubuh hewan karena sudah dikuduskan oleh Kristus. Oleh karena itu sudah sepantasnya kita menghormati tubuh kita dan tubuh orang lain. Sehubungan dengan itu, biasamya kita berdoa, “Bunda Maria yang tak bernoda, murnikanah badanku dan sucikanlah jiwaku.”

sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun

Kamis, 08 Agustus 2013

Visi Keuskupan Sinode II

 MEWUJUDKAN GEREJA PARTISIPATIF

Setiap kali masuk ke dalam gereja St. Yosep, kita langsung dihadapkan pada tulisan spanduk di atas altar “Visi Keuskupan Pangkalpinang: UMAT ALLAH KEUSKUPAN PANGKALPINANG, DIJIWAI OLEH ALLAH TRITUNGGAL MAHAKUDUS, BERTEKAD MENJADI GEREJA PARTISIPATIF”.

Pemampangan tulisan di atas altar bukanlah tanpa maksud atau bertujuan gaya saja, melainkan agar setiap kali datang ke gereja, umat membacanya, meresapinya dan menghayatinya, sehingga terwujud visi tersebut. Kalimat panjang visi itu sebenarnya bisa disederhanakan menjadi “Menjadi GEREJA PARTISIPATIF.”

Bagaimana kita dapat mewujudkan Gereja Partisipatif? Pertama-tama kita harus paham dulu dua kata tersebut.

Gereja Partisipatif
Gereja adalah umat Allah. Gereja adalah anggota Tubuh Mistik Kristus. Anggota itu disatukan melalui sakramen-sakramen (LG No 7). Sebagaimana tubuh memiliki banyak anggota, namun tetap satu tubuh, demikian juga dengan Gereja (bdk. 1Kor 12: 1 – 12). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Gereja itu adalah saya, Anda dan sekaligus juga kita. Jadi, Gereja memiliki dimensi personal (saya, Anda) dan sekaligus juga kolektif (kita).

Kata “partisipatif” mengacu pada makna berperan serta dalam suatu kegiatan. Kata ini dapat disamakan dengan kata “aktif”. Karena ini, pada kata “partisipatif” tidak ada istilah diam atau pasif. Apapun yang dilekatkan dengan kata “partisipatif” berarti harus bergerak aktif dalam aksi.

Karena itu, Gereja Partisipatif bisa dipahami, secara personal, saya dan/atau Anda berperan serta dan aktif, bukan diam menunggu apalagi pasif. Gereja Partisipatif bisa dipahami, secara kolektif, kita berperan serta dan aktif, bukan diam menunggu apalagi pasif. Berperan serta dalam hal apa? Kita dapat berperan serta atau ambil bagian dalam duka dan kecemasan, derita dan kegembiraan anggota Gereja serta membangun suatu dunia yang dilandasi cinta, damai dan keadilan. (bdk. MGP, no. 159).  Dengan kata lain, kita diminta untuk mau tertawa dengan sesama yang bergembira, dan menangis dengan sesama yang berduka.

Tiga Bintang
Apa kriteria Gereja Partisipatif? Saya bisa dikatakan Gereja Partisipatif atau Anda bisa dikatakan Gereja Partisipatif atau kita bisa dikatakan Gereja Partisipatif jika terdapat tiga bintang sebagai satu kesatuan. Tiga bintang itu adalah:
1.      Berpusat pada Kristus
2.      Berkomunio
3.      Bermisi

Jadi, jika dalam hidup saya sudah berpusat pada Kristus, saya terlibat dalam komunitas dan saya juga terlibat dalam misi, maka saya adalah Gereja Partisipatif. Jika dalam hidup Anda sudah berpusat pada Kristus, Anda terlibat dalam komunitas dan Anda juga terlibat dalam misi, maka Anda adalah Gereja Partisipatif. Dan jika dalam hidup kita sudah berpusat pada Kristus, kita terlibat dalam komunitas dan kita juga terlibat dalam misi, maka kita adalah Gereja Partisipatif.

Bintang 1: Berpusat pada Kristus
Berpusat pada Kristus berarti menjadikan Kristus sebagai sumber kehidupan Gereja (saya, Anda, dan sekaligus juga kita), pusat pelayanan dan tujuan hidup Gereja. (lih. MGP, no. 161).

Menjadikan Kristus sebagai sumber berarti saya, Anda, dan sekaligus juga kita selalu mengawali setiap aktivitas kehidupan dalam Kristus. Saya, Anda dan sekaligus juga kita, selalu menimba kekuatan dari Kristus dalam setiap awal kegiatan. Kristus itu bisa dijumpai dalam Kitab Suci, Ekaristi dan doa devosi. Jadi, jika sebelum beraktivitas saya, Anda dan sekaligus juga kita, membaca Kitab Suci (karena Kitab Suci paling mudah dan dekat) untuk mencari tahu apa kata Yesus hari ini untuk saya, Anda dan sekaligus juga kita, maka kita sudah menjadikan Kristus sebagai sumber. Bisa juga dengan berdoa kepada Kristus, mohon berkat dan perlindungan.

Menjadikan Kristus sebagai pusat pelayanan atau kegiatan artinya ajaran, semangat dan hidup Kristus mewarnai setiap karya saya, Anda dan sekaligus juga kita. Jadi, jika misalnya hari ini kita membaca Kitab Suci dan menemukan apa kata Tuhan, maka perkataan Tuhan itu hendaknya mewarnai kehidupan kita hari ini.

Menjadikan Kristus sebagai tujuan berarti apapun yang saya, Anda dan sekaligus juga kita kerjakan demi kemuliaan Tuhan. Atau juga seperti yang dikatakan Yesus, “segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat 25: 40).

Bintang 2: Berkomunio
Berkomunio berarti berkomunitas. Keuskupan kita sedang menggalakkan Komunitas Basis Gerejawi (KBG) sebagai bentuk cara menggereja yang baru. Jadi berkomunio berarti terlibat dalam kegiatan KBG.

Karena itu, saya baru dapat dikatakan Gereja Partisipatif jika saya terlibat aktif dalam kegiatan KBG. Anda baru dapat dikatakan Gereja Partisipatif jika Anda terlibat aktif dalam kegiatan KBG.

Dalam berkomunio pertama-tama ada saling kenal, bukan sekedar identitas saja melainkan juga kehidupan dan kebutuhan. Dalam berkomunio itu ada juga komunikasi yang dialogal, bukan monologal. Komunikasi dialogal berarti komunikasi dua arah: saling berbicara dan saling mendengarkan.

Harus disadari bahwa satu komunitas itu beragam, baik suku, status sosial, pekerjaan, umur, dll. Keragaman ini harus menjadi kekayaan, bukan bahan perpecahan. Agar dalam keragaman ini, komunio bisa berjalan, maka dibutuhkan sikap rendah hati, lemah lembut, sabar, saling mengasihi, saling membantu, saling menghormati, tidak membalas dendam, solider, dan sikap kemuridan. (lih. MGP, no. 173).

Bila dalam KBG saya, Anda dan sekaligus juga kita dapat mewujudkan komunio, maka KBG kita menjadi “Gereja Domestik” yang adalah sakramen keselamatan. (bdk. MGP, no. 179).

Bintang 3: Bermisi
Gereja adalah Tubuh Mistik Kristus, dan kita adalah anggotanya. Saya dan Anda sudah disatukan dengan Kristus melalui sakramen. Penyatuan itu membuat saya dan Anda ambil bagian dalam tugas perutusan Kristus.

Karena itu, saya dapat dikatakan Gereja Partisipatif jika saya bergiat dalam karya pastoral, baik di lingkungan Gereja maupun di luar. Anda dapat dikatakan Gereja Partisipatif jika Anda bergiat dalam karya pastoral, baik di lingkungan Gereja maupun di luar. Dan kita, sebagai anggota KBG, dapat dikatakan Gereja Partisipatif jika kita bergiat dalam karya pastoral, baik di lingkungan Gereja maupun di luar. Karya pastoral ini misalnya seperti bakti sosial, kunjungan orang sakit, membantu sesama, dll.

Saya dan juga Anda dapat bermisi secara personal dan juga secara kolektif dalam KBG. Sekalipun personal, kita tak bisa dipisahkan dari Kristus. Karya misi yang dilakukan harus bersumber, berpusat dan bertujuan demi kemuliaan Kristus.

Bermisi ini bisa saja lewat kata-kata, misalnya menasehati rekan yang malas, menegur teman yang menyontek, menghibur orang sakit, dll. Bermisi juga bisa lewat perbuatan, misalnya membantu dengan dana orang yang berkekurangan, bakti sosial, donor darah, dll. Bermisi bisa pula lewat sikap hidup, misalnya sikap rendah hati, pemaaf, lemah lembut, tidak egois, sikap mau berbagi, dll.

Gereja Partisipatif Dinamis
Gereja Partisipatif yang mau diwujudkan bukanlah bersifat statis, dalam arti sekali aksi selesai. Bukan berarti bahwa dengan menampilkan 3 bintang dalam satu kegiatan sehingga kita menjadi Gereja Partisipatif maka selesai. Gereja Partisipatif itu haruslah dinamis, tidak hanya sekali aksi saja, melainkan berlangsung seterusnya.

Tiga bintang sebagai kriteria Gereja Partisipatif haruslah merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Ketiga bintang itu harus dijalankan, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri. Dan ketiga bintang itu harus tetap menjadi pedoman setiap langkah hidup kita.

Sabtu, 03 Agustus 2013

Pembangunan Gereja Baru

PEMBANGUNAN GEREJA BARU paroki st yosep tanjung balai karimun

Tahun ini umat Paroki St Yosep berencana untuk membangun gedung gereja dan pastoran baru. Pembangunan ini merupakan suatu keharusan karena beberapa alasan. Gedung gereja yang lama sudah tidak memadai lagi. Ada banyak bagian dari gedung yang sudah lapuk dimakan usia. Hal yang sama juga dengan gedung pastorannya. Gedung gereja dan pastoran yang sekarang ini termasuk kategori tua. Usianya sudah lebih dari 60 tahun.

Selain itu juga bangunan gereja yang lama sudah tidak bisa lagi menampung jumlah umat yang kian bertambah banyak. Untuk menampung umat yang banyak saat misa, paroki mengambil kebijakan dengan menambah atas di samping gereja. Saat ini untuk kegiatan perayaan ekaristi sebagian besar umat duduk di luar. 

Inilah foto gedung gereja St Yosep Tanjung Balai Karimun yang lama.


Dengan alasan di atas, maka direncanakanlah pembangunan gedung gereja dan juga pastoran yang baru. Gedung gereja yang baru akan mengambil motif etnis China. Ini diambil sebagai bentuk penghormatan terhadap warga etnis China mengingat awal mula benih iman Katolik yang ada di paroki St Yosep Tanjung Balai Karimun khususnya dan Kepulauan Riau pada umumnya berasal dari warga keturunan China. Orang-orang China-lah yang menanamkan benih iman Katolik itu.

Inilah model bangunan gereja St Yosep yang baru


Kami, warga paroki St Yosep Tanjung Balai Karimun, sangat mengharapkan bantuan dari bapak-ibu, saudara/i dan hantai taulan untuk mempercepat terwujudnya harapan kami. Bantuan Anda dapat disalurkan ke nomor rekening Panitia Pembangunan Gereja:

BANK MANDIRI - KCP Tanjung Balai Karimun
No. 109-00-1251218-2
a.n. Sally Silvia Levis

Atas kemurahan hati, kebaikan dan juga sumbangan Anda, kami menghaturkan limpah terima kasih. Doa kami menyertai Anda.....

Jumat, 02 Agustus 2013

Tugas Gereja

TUGAS GEREJA YANG UTAMA

Dalam kehidupan kita, gereja mempunyai tiga tugas penting sebagai usaha melanjutkan karya Kristus dan merangkul kita semua, yakni: tugas sebagai nabi, tugas imani, dan tugas rajawi. Tugas imani merupakan tugas pengudusan, tugas sebagai nabi merupakan tugas pewartaan, dan tugas rajawi merupakan tugas melayani yang diartikan dalam Konsili Vatikan II. Tugas-tugas tersebut disebut juga sebagai Tritugas Gereja. Berikut penjelasannya.

Tugas Mewartakan
Gereja pada dasarnya tidak lain dan tidak bukan adalah jawaban atas panggilan Yesus Kristus sebagai sabda Allah. Dengan adanya Gereja, Yesus Kristus bisa hadir di antara kita semua. Hal inilah yang menyebabkan Gereja disebut sebagai Sabda. Dalam hal ini gereja dipandang sebagai pewarta dari arti yang luas. Selain tugas sebagai pewarta di dunia, Gereja juga memiliki bentuk-bentuk sabda. Ketiga bentuk sabda Allah dalam Gereja, yaitu: (1) sabda para rasul sebagai daya yang membangun Gereja; (2) sabda dalam Kitab Suci sebagai kesaksian normatif; dan (3) sabda Allah dalam pewartaan aktual Gereja sepanjang zaman.

Gereja juga berkarya dalam hal magisterium atau wewenang dalam mengajar. Hal ini muncul dari adanya konflik dari umat yang sering terjadi dengan para umat sendiri dan/ataupun  dengan para pemimpin Gereja, terutama dalam hal wewenang dan pengajaran. Itulah yang menyebabkan munculnya tugas hierarki di mana tugasnya adalah sebagai pemersatu. Wewenang mengajar dalam Gereja Katolik tidak berarti bahwa hanya ada dalam lingkungan hierarki yang menjadi aktif, tetapi juga diharapkan dari pihak yang berlawanan. Pengajaran dalam agama tidaklah sembarangan. 

Untuk mengajar atau mewarta harus memenuhi empat syarat, yaitu:
-       Ajaran itu harus menyangkut iman dan kesusilaan,
-       Harus bersifat ajaran yang otentik,
-       Dinyatakan dengan tegas dan defenitif, dan
-       Disepakati bersama.

Adapun dalam Gereja Katolik yang disebut dengan teologi, di mana tugas teologi adalah mengadakan penelitian lebih mendalam sehingga tercapailah pengertian yang makin mendalam tentang pewahyuan, jawaban atas persoalan atau masalah yang timbul dari kemajuan ilmu pengetahuan, dll. Teologi ada untuk menjelaskan sesuatu dalam agama sehingga suatu hal atau ajaran dapat diterima secara rasional. Dapat dikatakan bahwa teologi berada di antara ilmu pengetahuan dan agama.

Adapun hal lain yang perlu diketahui bahwa tugas hierarki berbeda dengan tugas teologi. Hierarki mempunyai tugas struktural dalam dalam Gereja demi kesatuan Gereja, sedangkan teologi bertugas merumuskan iman sesuai dengan situasi kehidupan Gereja dan tuntutan zaman. Oleh karena menjadi pewarta merupakan suatu panggilan maka kita dituntut dengan adanya penyesuaian ekstensial antara pewarta dengan apa yang diwartakan. Secara khusus tugas pewarta ini merujuk kepada golongan imam dan biarawan-biarawati yang dengan status hidup mau memberikan kesaksian tentang kebenaran injil.

 Tugas Menguduskan
Tugas Gereja yang kedua ini lebih khusus mengarah kepada kegiatan-kegiatan dalam Gereja, seperti: doa-doa, sakramen-sakramen dan ibadat-ibadat. Dalam tugasnya, Gereja selalu dibimbing oleh Roh Kudus, “Roh Kuduslah yang menciptakan persekutuan umat beriman dengan menghimpun mereka dalam Kristus, sebagai prinsip kesatuan Gereja”(UR 2). Kesatuan Gereja bukan hanya karena karya Roh Kudus, tetapi juga hasil komunikasi antar manusia, terutama komunikasi iman. Sarana komunikasi iman dalam Gereja adalah pengungkapan iman. Yang termasuk dalam pengungkapan iman adalah perayaan liturgi, perumusan iman dan perayaan iman.
  • Doa-doa dalam Gereja Katolik
Dalam Gereja Katolik dibedakan antara doa pribadi dan doa bersama. Doa pribadi disebut juga sebagai “doa di dalam Gereja”, sedangkan doa bersama biasa juga disebut “doa Gereja”. Doa sendiri berarti bahwa mengarahkan hati kepada Tuhan. Dalam berdoa tidak membutuhkan banyak kata, tidak perlu sikap badan yang bagus dan baik, serta gerakan-gerakan yang khusus. Hal ini demikian karena yang berdoa adalah hati kita, bukan badan.

Salah satu bentuk doa Gereja adalah liturgi. Liturgi tidak hanya merupakan kegiatan yang istimewa, tetapi juga wahana utama untuk mengatur umat Kristen ke dalam persatuan pribadi dengan Kristus.

Inti pokok dari doa adalah kesatuan pribadi dengan Putra dan dalam penyerahan-Nya kepada Bapa. Maka dari itu, dalam Gereja Katolik kita selalu berdoa, “Dengan perantaraan Tuhan kami Yesus Kristus”. Selain itu, liturgi juga bukan hanya pujian kepada Tuhan, tapi karena kemuliaan Allah tidak pernah lepas dari segi lain dari iman. Liturgi selalu mempunyai dua segi, yaitu: segi kemuliaan Allah dan segi manusia.

Jadi liturgi bukanlah tontonan bagi kita, tapi liturgi merupakan perayaan dalam hidup rohani kita. Melalui perayaan yang kita laksanakan kita manusia pun turut ambil bagian dalam misteri yang dirayakan. Seperti tertulis: “Di mana ada dua atau tiga orang yang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka”. 
  • Sakramen
Sakramen menjadi bagian dalam tugas Gereja karena sakramen itu sendiri merupakan rahmat yang tidak kelihatan dalam bentuk yang kelihatan dan ditawarkan kepada kita. Gereja Katolik menetapkan ada tujuh sakramen dalam gereja, yaitu: baptis, tobat, ekaristi, krisma, imamat, perkawinan, dan minyak suci. Sakramen sendiri berawal dari praktik dan ritus-ritus dalam Gereja perdana pada awalnya, namun belum ada penetapan pada saat itu bahwa itulah yang ketujuh sakramen tersebut.

Dalam sakramen, cinta kasih Allah disampaikan secara konkret melalui tanda-tanda badaniah kepada kita. Hal nyata yang dapat kita lihat adalah pada saat pembaptisan. Seorang imam akan menuangkan air kepada si penerima sebagai tanda sambil berkata, “Aku membabtis engkau dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus”. Perbuatan itu melambangkan peristiwa penyelamatan yang  dilaksanakan oleh Allah Tritunggal melalui imam menjadi nyata. Hal ini juga berlaku pada keenam sakramen lainnya sebagai sarana bagi kita. 
  • Sakramentali
Sakramentali adalah tanda-tanda suci yang memiliki kemiripan dengan sakramen-sakramen. Sakramentali juga menandakan karunia-karunia khususnya yang bersifat rohani, yang diperoleh berkat doa permohonan Gereja (SC 60). Sakramen dan sakramentali tidaklah sama. Sakramen merupakan pelaksanaan diri Gereja dalam bidang perayaan dan semuanya menyangkut Gereja, sedangkan sakramentali lebih bersifat khusus yang artinya bahwa ia perwujudan dari doa Gereja bagi orang tertentu. Namun perlu diketahui bahwa sakramentali bukanlah perwujudan kehadiran Kristus dalam Gereja melainkan dalam bentuk permohonan Gereja yang konkret. 

Tugas Melayani
Gereja selain memiliki tugas sebagai pewarta dan pengudusan, juga memiliki tugas dalam hal melayani. Tugas inilah yang paling mendasari semuanya. Seperti Yesus yang melayani pada waktu perjamuan malam terakhir, maka Gereja pun ingin mengikuti tradisi tersebut sebagai pelayan di zaman sekarang ini. Tugas melayani ini banyak kita jumpai dalam kehidupan kita sekarang. Entah itu sebagai pelayan dalam ibadat rukun maupun pelayan dalam ekaristi.

Contoh konkret yang dapat kita bilaan adalah pada imam yang adalah pelayan Gereja. Seorang imam harus ikhlas dalam melayani setiap umat yang datang. Bukan saja imam tapi kita pun dituntut untuk berlaku demikian. Dalam usaha pelayanan janganlah yang lain menjadi objek belas kasihan. Pelayanan berarti kerjasama, di mana di dalamnya semua orang merupakan subjek yang ikut bertanggung jawab. Yang pokok adalah harakat, martabat, harga diri, bukan kemajuan dan bantuan sosial-ekonomis yang hanyalah sarana.


Dalam melayani, Gereja Katolik memiliki beberapa ciri antara lain: Pertama, sikap iman yang radikal harus dinyatakan dalam pelayanan terhadap sesama, seperti yang ada dalam hukum kasih bahwa kita mesti mencintai sesama kita. Kedua, kesetiaan kepada Kristus sebagai Tuhan dan guru. Dan ketiga ialah mengambil bagian dalam sengasara dan penderitaan Kristus yang telah senasib dengan semua yang menderita.

SANTO YOSEP

St. Yosef : Tokoh Tanpa Suara

oleh: P. William P. Saunders *

St Yosef sungguh merupakan seorang tokoh tanpa suara dari Perjanjian Baru. Sebagai contoh, Injil tidak mencatat sepatah kata pun yang diucapkan oleh St Yosef. Namun demikian, apa yang dilakukan santo besar ini sepanjang hidupnya demi Tuhan menyuarakan semuanya. Agar dapat menghargai serta memahami perannya dalam karya keselamatan, kita perlu memeriksa Injil.

St Yosef “berasal dari keluarga dan keturunan Daud” (Luk 2:4). Karena leluhurnya ini, St Yosef merupakan penghubung antara perjanjian lama yang dibuat dengan Abraham dan Musa, dengan perjanjian baru yang sempurna dan abadi, yang akan dibuat melalui darah Yesus. Ia mengakhiri gagasan tanah perjanjian para bapa bangsa serta kerajaan Raja Daud, dan mempersiapkan jalan bagi Yesus, sang Mesias, yang akan membangun kerajaan baru, yaitu Kerajaan Allah dan Tanah Perjanjian yang baru - bukan suatu kerajaan duniawi dengan benteng-benteng dan angkatan bersenjata, melainkan kerajaan yang ada dalam diri orang yang hidup dalam Allah, hidup sekarang yang akan mencapai kesempurnaannya di Surga.

St Matius mengidentifikasikan Yosef sebagai “seorang yang tulus hati.” Teks dalam bahasa aslinya mempergunakan kata adil atau benar, yang secara lebih baik menggambarkan bahwa ia hidup seturut ketentuan Allah, dengan melakukan perintah-perintah-Nya dan meneladani kasih-Nya.

St Yosef pertama kali muncul dalam Injil dalam kisah awal mula kelahiran Yesus. Sementara Injil St Lukas memberikan penekanan pada kabar sukacita kepada Maria, Injil St Matius memberikan penekanan pada St Yosef. Dikisahkan bahwa St Yosef bertunangan dengan Maria ketika ia mendapati bahwa tunangannya itu mengandung. Patut diingat bahwa dalam masyarakat Yahudi, apabila sepasang muda-mudi telah bertunangan secara resmi dan memaklumkan niat mereka di hadapan dua saksi, mereka dianggap telah menikah sebagai suami isteri. Biasanya setelah satu tahun masa pertunangan, mempelai pria datang ke rumah mempelai wanita dalam suatu upacara meriah dan memboyong mempelai wanita ke rumahnya di mana mereka melangsungkan pernikahan dan hidup bersama sebagai suami isteri. (Tradisi ini menjadi dasar dari perumpamaan tentang lima gadis bodoh dalam Mat 25). Karena St Yosef belum tahu akan rencana Allah, tetapi mendapati bahwa tunangannya telah mengandung bukan dari dirinya, Injil mengatakan bahwa ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam” (Mat 1:19). Menurut Hukum Taurat, St Yosef dapat mengajukan Maria agar dihukum rajam hingga tewas karena perzinahan (bdk Ulangan 22). Jika St Yosef saja mengetahui bahwa Maria mengandung, apakah gosip di kota kecil itu tidak membicarakannya? Orang hanya dapat membayangkan betapa malu dan terlukanya hati St Yosef. Betapa ia pastilah patah hati!

Tetapi, malaikat Tuhan menampakkan diri kepada St Yosef dalam mimpi, mengatakan kepadanya bahwa Maria mengandung dari kuasa Roh Kudus, dan memintanya untuk mengambil Maria sebagai isterinya dan Yesus sebagai Putranya sendiri. Tanpa banyak tanya ataupun ragu-ragu, St Yosef  melakukan seperti yang diperintahkan malaikat. Lagi, di sini kita melihat pentingnya peran St Yosef: Ia harus mengambil Yesus sebagai Putranya sendiri dan memberinya nama, dengan demikian memberi-Nya pengakuan sah sebagai Puteranya dan menjadikan-Nya pribadi yang sah.

Patut dicatat bahwa pemahaman akan Kabar Sukacita seperti di atas merupakan pemahaman menurut tradisi Gereja. Sebagian orang beranggapan bahwa St Yosef telah mengetahui bahwa Maria mengandung dari kuasa Roh Kudus dan karenanya merasa tak layak, bahkan takut, untuk menikahinya dan menerima tanggung-jawab ini; sebab itulah, ia bermaksud untuk menceraikannya secara diam-diam. Tetapi, jika demikian, mengapa kemudian malaikat mengatakan kepada St Yosef dalam mimpi bahwa Maria telah mengandung dari kuasa Roh Kudus? Karenanya, pemahaman menurut tradisi Gereja masih tetap merupakan tafsiran yang terbaik.

St Yosef menunaikan tugas kewajibannya dengan gagah berani. Sepanjang Injil, ia dengan setia dan tanpa ragu mentaati perintah-perintah Tuhan: membawa keluarganya ke Mesir agar aman dari murka Raja Herodes; kembali ke Nazaret; membawa Puteranya ke Bait Allah untuk disunatkan dan dipersembahkan kepada Allah; dan menempuh perjalanan ke Yerusalem untuk merayakan hari raya Paskah.

St Yosef menerima tanggung-jawab panggilannya - dengan menjadi seorang suami dan ayah yang setia. Ia memberikan yang terbaik yang dapat dilakukannya bagi keluarganya, entah itu berarti kandang di Betlehem ataupun rumah di Nazaret. Walau Injil tidak banyak memberikan informasi mengenai kehidupan Keluarga Kudus di Nazaret, kita dapat menyimpulkan bahwa mereka adalah orang-orang sederhana: ketika St Yosef dan Bunda Maria mempersembahkan Yesus di Bait Allah, mereka mempersembahkan dua ekor anak burung merpati sebagai korban, suatu pengecualian yang diperuntukkan bagi keluarga-keluarga miskin yang tak mampu mempersembahkan kurban anak domba seperti yang diwajibkan.

Guna menghidupi keluarganya, St Yosef bekerja sebagai seorang tukang kayu. Kata yang dipergunakan dalam Injil aslinya adalah “tekton” yang artinya “pengrajin” atau “tukang”, karenanya dapat juga berarti bahwa ia seorang tukang bangunan ataupun seorang tukang kayu. Sebagai seorang ayah Yahudi yang baik, St Yosef mewariskan keahliannya kepada Putranya, dan sesungguhnya Yesus dikenal sebagai anak tukang kayu” (Mat 13:55) dan tukang kayu” (Mrk 6:3).

Meskipun St Yosef bukanlah ayah Yesus secara fisik, namun di luar itu ia adalah seorang ayah dalam arti sepenuhnya. Lagipula, sebagai seorang ayah Yahudi yang baik, ia bertanggung-jawab atas pendidikan religius Putranya, termasuk mengajari-Nya membaca Kitab Suci. St Yosef pastilah seorang teladan yang baik hati dan gagah bagi Yesus, mengingat bahwa Allah Bapa telah mempercayakan PutraNya ke dalam pemeliharaannya.

Terkahir, pastilah Yesus amat mengasihi serta menghormati St Yosef dan Bunda Maria, seperti ditulis dalam Injil, setelah mereka menemukan-Nya dalam Bait Allah, Yesus pulang kembali ke Nazaret dan tetap hidup dalam asuhan mereka” (Luk 2:51). Singkat kata, St Yosef dengan murah hati mengesampingkan segala kepentingan dirinya sendiri demi kebaikan keluarganya.

Menurut tradisi, St Yosef wafat sebelum Yesus memulai pewartaan-Nya di depan publik. Keyakinan ini didasarkan pada dua pokok pikiran utama: pertama, St Yosef tidak pernah muncul selama pewartaan Yesus di depan umum seperti yang dilakukan Bunda Maria, misalnya saat perjamuan nikah di Kana; dan kedua, dari salib, Yesus mempercayakan pemeliharaan BundaNya kepada St Yohanes Rasul, menunjukkan bahwa BundaNya telah menjadi janda tanpa adanya anak-anak lain untuk memeliharanya. Juga menurut tradisi, St Yosef wafat dengan didampingi Yesus dan Bunda Maria. Karena alasan inilah, St Yosef biasa dimohon bantuan doanya untuk kematian yang bahagia. Meskipun tidak didefinisikan oleh Magisterium, St Fransiskus de Sales (wafat thn 1622) yakin bahwa St Yosef diangkat jiwa dan raganya ke surga: “Adakah yang dapat kita katakan sekarang selain daripada, tak mungkinlah kita ragu bahwa santo yang mulia ini menikmati ganjaran berlimpah di surga bersama Dia yang begitu mengasihinya dan mengangkatnya ke sana, jiwa dan raganya; itulah yang hampir pasti terjadi sebab tak ada pada kita reliquinya di sini, di dunia. Bagiku tampaknya tak dapat orang meragukan kebenaran ini; sebab bagaimana mungkin Ia menolak memberikan rahmat ini kepada St Yosef, ia yang senantiasa taat selalu sepanjang hidupnya?”

Santa dan santo besar lainnya mempunyai devosi mendalam kepada St Yosef: St Bernardinus dari Siena (wafat thn 1444) menyampaikan khotbahnya, “Ia dipilih oleh Bapa yang kekal sebagai pelindung yang dapat diandalkan dan penjaga harta pusaka-Nya yang termulia, yaitu, Putra Ilahinya dan Maria. Ia melaksanakan panggilannya ini dengan ketaatan penuh hingga akhirnya Tuhan memanggilnya dengan berkata, `Mari, hambaku yang baik dan setia, masuklah ke dalam sukacita Tuan-mu'”.

St Theresia dari Avila (wafat thn 1582) dalam Riwayat Hidupnya menulis, “Aku menjadikan St Yosef pembela dan pelindungku, aku mempercayakan diriku sepenuh hati kepadanya. Ia datang menolongku dengan cara yang paling nyata. Bapa tercinta dari jiwaku ini, pelindungku terkasih ini, bergegas menarikku keluar dari situasi yang dapat melemahkan tubuhku, seperti ia merenggutku dari mara bahaya yang lebih besar dari alam lain yang membahayakan kehormatan dan keselamatan kekalku! Dan menyempurnakan sukacitaku, ia senantiasa menjawab doa-doaku lebih dari yang aku mohon dan harapkan. Aku tidak ingat, bahkan sekarang, bahwa aku pernah memohon sesuatu kepadanya yang tidak ia perolehkannya bagiku. Aku terpesona atas kemurahan luar biasa yang Tuhan anugerahkan kepadaku melalui santo yang kudus ini, dan atas segala mara bahaya di mana Ia telah membebaskan aku, baik tubuh maupun jiwa.”

Di masa-masa terakhir ini, Beato Broeder Andre Bessette (wafat 1937) memiliki devosi yang amat mendalam kepada St Yosef. Semasa masih seorang pemuda, ia bermimpi; dalam mimpinya ia melihat sebuah gereja yang dibangun di suatu tempat yang tak dikenalinya. Dari mimpinya ini, ia terinspirasi untuk membangun sebuah gereja yang indah demi menghormati St Yosef di Mount Royale di Montreal, Kanada. Sekarang ini, Oratorium St Yosef merupakan gereja terbesar di seluruh dunia yang dipersembahkan kepada St Yosef.  Beato Andre tidak pernah menyatakan gereja ini sebagai proyek-“nya”; sebaliknya ia mengatakan, “Dari diriku sendiri, aku bukan apa-apa. Tuhan memilih orang yang paling bodoh. Jika ada seorang lain yang lebih bodoh dari aku, pastilah Allah yang baik akan memilihnya.” Melalui perantaraan St Yosef, Beato Andre melakukan berbagai penyembuhan, tetapi ia menyatakan, “St Yosef-lah yang menyembuhkan. Aku ini hanya anjing kecilnya.” Hidup Beato Andre mencerminkan devosi sejati kepada St Yosef: seorang yang sederhana, pendiam, rendah hati, yang melayani Tuhan dan keluarga-Nya, yaitu Gereja.

Para paus selama abad-abad Gereja juga mengakui peran penting St Yosef: Paus Pius IX memaklumkan St Yosef sebagai Pelindung Gereja Katolik (1870).

Paus Leo XIII dalam “Quamquam Pluries” (1889) menulis, “St Yosef adalah pelindung, penyelenggara, pembela yang sah dari rumah tangga ilahi yang dipimpinnya. Dengan demikian, wajarlah dan sudah sepantasnyalah bagi St Yosef bahwa, seperti ia di masa silam senantiasa memenuhi segala kebutuhan Keluarga Nazaret yang ia naungi dalam perlindungannya yang kudus, juga sekarang ia menaungi dengan perlindungan surgawinya serta membela Gereja Yesus Kristus.”

Paus Yohanes Paulus II dalam “Redemptoris Custos” (1989) mendorong umat beriman untuk memandang St Yosef dalam abad kita yang sulit ini: Perlindungan ini sepatutnyalah dimohonkan karena senantiasa diperlukan Gereja, bukan hanya sebagai pembela melawan segala mara bahaya, melainkan juga, dan sungguh terutama, sebagai daya dorong bagi komitmennya yang telah diperbaharui untuk evangelisasi di dunia dan evangelisasi kembali di tanah-tanah dan bangsa-bangsa di mana “agama dan kehidupan Kristen dahulunya berkembang dan … sekarang dihadapkan dengan ujian yang berat” …. Kiranya St Yosef menjadi bagi kita semua seorang guru yang luar biasa dalam melayani misi keselamatan Kristus, suatu misi yang merupakan tanggung jawab dari setiap dan masing-masing anggota Gereja: para suami dan para isteri, para orangtua, mereka yang hidup dengan bekerja dengan tangan mereka atau dengan pekerjaan lain apapun, mereka yang dipanggil ke dalam kehidupan kontemplatif dan mereka yang dipanggil ke dalam karya kerasulan.”

Yang terakhir, St Yosef dihormati dalam liturgi Gereja. Sejak disahkannya kekristenan pada tahun 313 M, Misa telah dipersembahkan guna menghormatinya, dimulai dari Timur. Paus Yohanes XXIII pada tanggal 13 November 1962 menginstruksikan agar nama St Yosef dimasukkan dalam Kanon Romawi (Doa Syukur Agung I), sebagai pengakuan yang pantas bagi Pelindung Gereja Universal. Di samping itu, Hari Raya St Yosef pada tanggal 19 Maret merupakan hari raya wajib bagi seluruh Gereja universal (Kitab Hukum Kanon No. 1246). Pada tahun 1955, Paus Pius XII menetapkan Pesta St Yosef Pekerja pada tanggal 1 Mei guna menghadirkan St Yosef sebagai teladan bagi segenap pekerja dan guna memberikan penekanan pada martabat sejati sumber daya manusia untuk mengimbangi perayaan “Hari Buruh” di negara-negara komunis.

Kiranya masing-masing kita menghormati serta menghargai teladan St Yosef, mengandalkan doa-doanya guna menolong kita di jalan keselamatan.


* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School.
sumber : “Straight Answers: St. Joseph: The Silent Figure” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2006 Arlington Catholic Herald.  All rights reserved; www.catholicherald.com

diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.