Wilayah Moro

Sejarah

Cikal bakal umat Katolik di Kepulauan Riau ada sejak 1840-an. Walau keberadaan orang Katolik perdana di Moro tidak diketahui secara pasti, komunitas nelayan beragama Katolik di Sugi Bawah (Moro), Kepulauan Riau, berawal dari para nelayan yang sudah beragama Katolik dari Paroki Pin Hai di Fu Kien (Tiongkok). Sebagai nelayan, hidup mereka selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari sumber tangkapan ikan dengan kwalitas terbaik.
Para nelayan ini menjadikan daerah Moro pertama-tama sebagai tempat berlabuh sekaligus berkumpul sesama komunitas nelayan. Latar belakang pemilihan tempat ini didasarkan bahwa Pulau Moro adalah:
1.      Daerah yang cukup aman untuk berlindung dari beberapa musim dan cuaca laut
2.      Sebagai tempat berlindung dari kawanan lanon (sebutan untuk bajak laut) yang sering beraksi di perairan Selat Malaka.
3.      Letak geografisnya dekat dengan Temasik (Singapura).
Hubungan dagang dengan para nelayan itu dengan Singapura masih banyak kemudahan, karena Riau, Malaysia dan Temasik masih diterikat kekerabatan sebagai satu rumpun Kerajaan Malaka.
            Kehidupan para nelayan ini selama berada di daratan Moro membaur dengan masyarakat sekitar. Dengan adanya dialog terus menerus dengan para penduduk setempat dan komunitas nelayan lainnya serta adanya pemeliharaan hidup rohani dan keteladanan hidup mereka, benih iman dengan sendirinya mulai tersebar. Dari antara penduduk dan masyarakat lainnya kemudian belajar untuk menjadi seorang Katolik. Selanjutnya dengan bekal pengetahuan yang dimilikinya para nelayan dari Paroki Pin Hai ini memelihara hidup iman dan doanya serta mengajar dan mempersiapkan orang-orang sejamannya untuk dibaptis di Singapura dan Malaka.
            Ketika berada di Singapura, selain mengadakan aktivitas perdagangan, para nelayan ini juga melakukan kewajibannya berkaitan dengan pemeliharaan iman, yaitu mengikuti perayaan-perayaan misa di salah satu gereja serta menjajaki adanya kemungkinan-kemungkinan pelayanan untuk komunitas nelayan dan masyarakat yang ada di Moro. Baru pada tahun 1849 umat Moro sesewaktu mendapat kunjungan seorang pastor. Yang pertama kali berkunjung adalah P. Adr Claessens, Pr. Sejak kunjungan pertama ini, mulai ada titik terang jalinan komunikasi. Upaya komunikasi terus berjalan seiring perkembangan waktu. Dari kunjungan itu diketahui ternyata wilayah ini sebagai bagian dari stasi Sungai Selan (Bangka).
Pastor stasi Sungai Selan yang pertama kali berkunjung di Kepulauan Riau adalah P. Y.Y. Langenhoof pada tahun 1854. Pada saat pelayanan itu, Pastor Langenhoof berhasil bertemu dengan umt Katolik dalam jumlah yang lumayan besar untuk ukuran waktu itu, yaitu 11 orang. Mereka berasal dari Tionghoa. Upaya penyelidikan dan “sensus” terus dilakukan. Berturut-turut kemudian di Moro dan Karimun terdapat 50 orang Katolik. Perkembangan dari 11 ke 50 orang, padahal tenaga imamnya dan waktu kunjungan sangat terbatas, menuntut adanya kerja keras para awam.
Kedekatan geografis antara Karimun dan Sugi Bawah (Moro) dengan Singapura membuat jalinan komunikasi dan pelayanan pastoral dilakukan oleh tenaga-tenaga imam/misionaris yang berdomisilidi Singapura dan/atau Penang-Malaysia. Dalam dokumen gereja tersirat bahwa Fr. Lee, seorang imam keturunan Tionghoa dari salah satu paroki di Singapura, memberi pelayanan sakramen di wilayah Moro. Dari catatan dokumentasi gereja, terekam bahwa pada 22 April 1926 terjadi baptisan atas nama Petrus Tan Khoh Leong. Yang membaptis adalah Fr. Lee. Sampai 14 Oktober 1926 ia masih berkunjung ke wilayah Moro. Fr. Lee memberi informasi kepada Mgr. Theodosius Herkenrath (Prefek Apostolik Bangka yang pertama) bahwa di Sugi Bawa (Moro) ada umat Katolik. Bisa dipastikan bahwa saat itu wilayah Bangka dan Kepulauan Riau ditangani oleh para misionaris SSCC.
Mgr Herkenrath, selaku Prefek Apostolik Keuskupan Pangkalpinang I (1923 – 1928), mengadakan kunjungan perdana ke Kepulauan Riau melalui perjalanan laut yang panjang. Dalam kesempatan perjalanan ini mereka sempat mengunjungi umat Katolik di Dabo Singkep dan Tanjung Pinang pada Maret 1925.
Dalam kunjungannya di Moro, Mgr. Herkenrath sempat membaptis banyak orang dan berjanji akan mendirikan gedung gereja besar untuk masyarakat China Katolik pada waktu itu. Ia mulai mencari orang-orang yang kelak akan terlibat langsung dalam pembangunan ini. pembangunan dimulai bulan April 1928 dipimpin oleh Br. Gerardus Jeanson, SSCC; teman seperjalanannya ketika diutus ke tanah misi. Gedung gereja dibangun dengan menggunakan bahan baku kayu dan papan. Atas kerja kerasnya bersama umat, gedung gereja dibangun dalam waktu yang cukup singkat. Tanggal 3 Desember 1928, gedung gereja itu diresmikan dan diberkati oleh Mgr. Vitus Bouma, SSCC (Prefek Apostolik II Keuskupan Pangkalpinang). pembangunan sarana dan prasarana terus berlanjut antara lain sebuah sekolah pada tahun 1929 di samping sekolah. Rentang waktu dari 22 April 1926 – 1 November 1945 wilayah Moro selalu mendapatkan pelayanan pastoral dan terus terjadi baptisan baru. Tercatat bahwa P. Engelmundus Tromp, SSCC pernah tinggal menetap di Moro.
Perkembangan selanjutnya terjadi peristiwa luar biasa, yaitu adanya wabah penyakit malaria dan kolera pada tahun 1933 (atau 1936). Banyak orang melakukan migrasi dari daerah ini menuju tempat lain. Tak terkecuali umat Katolik. Mereka juga mengungsi ke daerah-daerah yang terbilang aman di sekitarnya. Para peletak dasar atau orang Katolik perdana tetap menjalankan kewajiban imannya di manapun mereka berada. Karena letak wilayah Moro yang cukup terpencil, perkembangan Gereja mengalami pasang surut. Akhirnya, Moro menjadi bagian dari wilayah Tanjung Batu (Kundur). Di sana ada pastor yang menetap.
        Wabah kolera yang terjadi di Moro membawa “berkah” tersendiri dalam kaitannya dengan penyebaran iman Katolik. Di antara mereka yang bermigrasi, ada beberapa umat yang bermigrasi ke Pulau Karimun. Semangat gereja awal di Moro tetap terus berlangsung di Karimun ini. Di sini juga awal mula kehadiran gereja diawali oleh kaum awam. Kebiasaan berkumpul dari satu tempat ke tempat yang lain di rumah-rumah umat Katolik untuk berdoa terus berlangsung. Upaya pengajaran terus dilakukan.


Moro dlm Gambar
Gereja St Theresia, Moro saat ini






















Tidak ada komentar:

Posting Komentar