Stasi Pulau Burung ini mencakup wilayah
MGI, wilayah Guntung (Sambu), wilayah Pulau Burung km 2,5 (termasuk juga
km 00), wilayah Pulau Burung km 9 dan wilayah Pulau Burung SP. Yang
pertama kali ada umat katoliknya adalah wilayah Guntung (Sambu) lalu km
2,5 dan km 9.Umat yang ada di sini adalah pendatang, bertepatan lokasi
itu merupakan daerah industri. Sambu dan Pulau Burung, mulai km 00
hingga km 9 adalah areal satu perusahaan dengan lahan perkebunan kelapa
dan nenas.
Awalnya
daerah ini termasuk areal "bebas pastoral", artinya tidak jelas masuk
wilayah keuskupan mana. Karena itu, cukup lama di sini tidak ada
pelayanan. Akan tetapi umat yang ada, demi mempertahankan imannya,
selalu mengadakan ibadat. Ada umat yang menerima sakramen pernikahan
dari pelayan pastoral Tanjung
Pinang, keuskupan Pangkalpinang, (waktu itu Kepulauan Riau masih
berpusat di Tanjung Pinang). Tokoh penting di sini adalah Bapak Hubertus
dan Om Don. Mereka bukanlah tenaga pastoral resmi yang diangkat, baik
oleh paroki maupun keuskupan. Pelayanan pastoral mereka murni dari
kecintaan mereka pada Gereja dan iman katolik.
Sekitar
pertengahan tahun 1980-an ada pelayanan pastoral dari Tanjung Pinang.
Pastor yang datang melayani adalah Pastor Hendri Jourdan, MEP, seorang
misionaris Perancis. Perayaan ekaristi diadakan di km. 00. Kedatangan
Pastor Hendri ke Pulau Burung tak bisa dilepaskan dari keberadaan orang
Perancis di perusahaan tersebut. Melihat umat yang banyak dan seperti
"domba tanpa gembala", Pastor Hendri mengontak temannya yang tinggal di
Paroki Air Molek, yang kebetulan juga sama-sama MEP. Maksud Pastor
Hendri adalah untuk menyerahkan pelayanan pastoral di daerah itu kepada
Paroki Air Molek. Alasan Pastor Henderi adalah (1) Daerah Pulau Burung
sudah merupakan satu daratan dengan Air Molek. Karena itu transportasi
tidaklah menjadi masalah (Pastor Hendri tidak mengetahui medannya); (2)
Paroki Tanjung Pinang sudah sangat luas, karena mencakup seluruh
Kepulauan Riau. Dengan wilayah pastoral yang luas dan tenaga imamnya
yang terbatas, Pastor Hendri merasa tak sanggup melayani Pulau Burung.
Apalagi transportasi waktu itu hanya mengandalkan pompong. Biaya
operasional sangat tinggi dan sangat tergantung pada situasi laut.
Sejak
kontak tersebutlah, maka Wilayah Pulau Burung secara resmi masuk
wilayah pastoral Paroki Air Molek, Keuskupan Padang. Dalam perjalanan
waktu lokasi umat pun bertambah. Adalah peran Pak Hubert dan Om Don yang
menemui sekelompok umat katolik dari Flores di daerah perkebunan sawit
di MGI. Ini terjadi pada tahun 1996. Sebelumnya umat ini mengikuti
kebaktian eukemene yang dibawakan pendeta protestan. Sejak kedatangan
Pak Hubert dan Om Don umat katolik mulai beribadat sendiri. Awalnya Pak
Hubert yang memimpin.
Setelah
wilayah MGI, muncul lagi kelompok umat katolik di SP (Satuan
Pemukiman), sekitar tahun 1999. Ini merupakan daerah transmigrasi. Umat
katolik tersebar di SP 2, 3, 4, 6 dan 8. Namun setiap hari Minggu mereka
berkumpul di satu tempat. Biasanya di SP 4, di rumah keluarga Pak
Paulus, karena lokasinya strategis. Perlu diingat bahwa di SP ini umat
kristen umumnya tidak boleh mendirikan rumah ibadah. Karena itu, ibadat
atau perayaan ekaristi diadakan di rumah.
Setelah
bergabung dengan Paroki Air Molek, umat tetap jarang mendapatkan
pelayanan misa. Paling cuma hari besar, seperti natal dan paskah; dan
itupun tidak selalu. Hal ini disebabkan faktor jarak dan medan
perjalanan yang sulit. Apalagi Paroki Air Molek memiliki daerah pastoral
yang banyak dan sangat luas dengan medan tempuh yang berat. Karena itu
muncul gagasan dari umat untuk bergabung ke Keuskupan Pangkalpinang.
Kebetulan daerah ini sudah dekat dengan Paroki St Yosep, Tanjung Balai
Karimun. Maka, dimulailah pembicaraan dan penjajakan.
Uskup
Pangkalpinang, pada pertengah tahun 2004, mengutus Romo Marcel Gabriel,
yang waktu itu sebagai Pastor Pembantu Paroki St Yosep Tanjung Balai
Karimun, untuk melihat situasi dan mengadakan pembicaraan dengan
tokoh-tokoh umat di Pulau Burung. Romo Marcel pulang dengan membawa
pesan: "Mereka sangat membutuhkan pelayanan." Dan dari pesan itu,
hanya Paroki Tanjung Balai yang lebih memungkinkan untuk memenuhi
harapan umat itu ketimbang Paroki Air Molek.
Maka
pembicaraan antar keuskupan berkaitan pemindahan ini semakin intens.
Dan akhirnya, pada tahun 2005 wilayah Pulau Burung masuk ke pangkuan
Bunda Gereja Keuskupan Pangkalpinang, dengan menjadi bagian dari stasi
dari Paroki St Yosep Tanjung Balai Karimun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar